TERBIT.ID, Sukabumi - Aturan anyar PPDB 2025 yang digagas Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi ternyata menimbulkan dampak berantai bagi sekolah swasta. SMK Bhakti Kencana Cicurug, yang berdiri sejak 2010, kini terancam menutup pintu gerbangnya setelah pada tahun ajaran 2025/2026 hanya berhasil menjaring 10 siswa baru. Operasional terganggu, gaji guru dipotong, dan semangat mengajar ikut merosot.
Kebijakan baru dalam sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2025 yang memperbesar rombongan belajar hingga 50 siswa per kelas dan membuka jalur khusus bagi pelajar kurang mampu di sekolah negeri dinilai memukul keras keberlangsungan sekolah swasta di Jawa Barat. berdampak signifikan terhadap kelangsungan sekolah swasta, salah satunya SMK Bhakti Kencana Cicurug, Kabupaten Sukabumi.
Kekhawatiran mendalam kepala Sekolah SMK Farmasi yang berdiri sejak 2010 karena jumlah siswa baru menurun drastis, hingga berdampak pada kesejahteraan guru dan operasional sekolah.
Kepala SMK Bhakti Kencana, Amelia Windasari, menyampaikan bahwa aturan dari KDM sebenarnya memiliki niat baik, namun berdampak besar bagi keberlangsungan sekolah swasta.
"Sebetulnya aturan baru dari KDM itu bagus, ya, untuk siswa yang tidak mampu agar bisa bersekolah. Tapi imbasnya, siswa yang tidak diterima di sekolah negeri kini jadi diterima semua. Alhasil, sekolah swasta kekurangan siswa, termasuk kami," ujar Amelia kepada terbit.id, Kamis, (10/7/2025).
Menurut Amelia, kondisi ini menyebabkan SMK Bhakti Kencana tahun ini hanya mendapatkan 10 siswa baru di tahun ajaran 2025/2026. Padahal, sebelumnya siswa yang tidak tertampung di sekolah negeri kerap mendaftar ke sekolah swasta.
Dampak kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang memperbesar
rombongan belajar atau rombel hingga 50 murid per kelas dan membuka jalur khusus bagi pelajar dari keluarga tidak mampu di sekolah negeri.
"Dampaknya sangat terasa karena pemasukan sekolah swasta itu murni dari siswa. Mulai dari gaji guru, operasional sekolah, semuanya dari siswa. Kalau siswanya tidak ada, bagaimana sekolah bisa berkembang?" tambahnya.
Saat ini, total siswa di SMK Bhakti Kencana hanya sekitar 40 orang dari kelas X hingga XII. Namun, jumlah tenaga pengajar mencapai 22 orang, yang jelas tidak seimbang dengan jumlah siswa.
"Kami sudah mengurangi jam mengajar dan menurunkan gaji guru. Untuk opsi merumahkan guru, kami serahkan kepada masing-masing. Kalau sanggup dengan kondisi ini, silakan lanjut. Kalau tidak, kami maklumi," ujar Amelia lirih.
Penurunan jumlah siswa juga mempengaruhi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), karena dihitung berdasarkan jumlah siswa. Hal ini mempersulit sekolah dalam menjaga kualitas pembelajaran.
"Jumlah jam belajar dan jumlah guru itu sama, mau siswa banyak atau sedikit. Tapi kalau siswanya hanya segelintir, otomatis dana BOS yang kami terima juga sedikit," ungkapnya.
Amelia mengungkapkan, jika kondisi ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin sekolah yang sudah berdiri selama bertahun-tahun ini akan menutup operasional.
"Sekolah kami ini sudah terbukti meluluskan siswa yang bekerja di berbagai apotek, bahkan sampai luar daerah. Tapi kalau terus begini, sekolah bisa tutup. Padahal sekolah ini menjadi tumpuan harapan anak-anak untuk masa depan mereka," jelasnya prihatin.
Dampak berantai juga dirasakan para guru yang mengalami penurunan semangat akibat jumlah siswa yang minim. Ini menjadi pekerjaan rumah (PR) tersendiri bagi pihak sekolah untuk menjaga semangat mengajar tetap terjaga.
Amelia berharap pemerintah memberi perhatian khusus bagi sekolah swasta yang terdampak. Bahkan, menurutnya, sudah ada komunikasi antara Forum Komunikasi Kepala Sekolah Swasta (FKKS) dengan pihak Cabang Dinas Pendidikan (KCD).
"Dari Ketua FKKS sudah menyampaikan ke KCD, dan rencananya akan ada rapat lanjutan bersama para kepala sekolah swasta. Karena ternyata bukan hanya kami yang terdampak, tapi banyak SMK swasta lainnya juga mengalami hal serupa," pungkas Amelia. (R.Cking).