Rumah berukuran 3x6 meter ini menjadi satu-satunya tempat berlindung bagi enam jiwa, termasuk ibu Ana yang sudah lansia dan anak-anak mereka.
Setiap hari, Ana berjuang sebagai kuli cangkul. Penghasilannya yang hanya Rp 120 ribu per minggu sering kali tak cukup untuk makan, apalagi untuk memperbaiki rumah.
“Kadang kerja cuma 2 hari, seminggu libur. Buat makan aja udah pas-pasan,” ujarnya dengan nada lelah.
Rumah mereka menyimpan banyak cerita. Dindingnya dari bilik yang usang, atapnya sudah melengkung, dan pondasi dapurnya nyaris ambruk. Saat hujan deras datang, tetesan air membuat lantai semen rumah mereka becek.
Mimpi buruk itu nyata bagi Ana dan keluarganya. Mereka harus tidur terpisah karena takut kamar akan ambruk sewaktu-waktu.
“Istri dan anak paling kecil tidur di tengah rumah karena takut. Saya tidur di dapur,” cerita Ana.
Harapan yang Tak Kunjung Datang
Ana sudah berulang kali mengajukan permohonan bantuan rumah tidak layak huni (Rutilahu). Kartu Keluarga dan KTP sudah berulang kali difoto, tapi kabar baik tak kunjung datang. Ia hanya bisa pasrah dan berharap ada keajaiban yang bisa mengubah nasib keluarganya.
Merespons kondisi ini, Kepala Desa Walangsari, Dani Setiawan, menjelaskan bahwa ada 50 rumah yang masuk kategori tidak layak huni di desa mereka.
Ia mengklaim Pemerintah Kabupaten Sukabumi akan segera merealisasikan bantuan untuk keluarga Ana.
“Insya Allah di tahun ini akan merealisasikan bantuan rumah tidak layak huni kepada Bapak Ana,” kata Dani.
Namun, ia juga menambahkan bahwa dari 48 unit yang diajukan, baru 6 unit yang direncanakan akan direalisasikan tahun ini.
Terlepas dari itu, Ana hanya bisa berharap janji ini benar-benar terwujud, sehingga ia dan keluarganya bisa memiliki rumah yang aman dan layak untuk ditinggali.(FKR)